Logo adalah visual entry point dari sebuah brand. Gerbang pertama target sasaran secara visual. Brand internasional seperti Starbucks, memiliki logo lingkaran berwarna hijau yang di dalamnya terdapat seorang Putri Duyung diapit dua bintang. Sebagai sebuah filosofi kuat, logo tersebut mencerminkan karakteristik lokal penduduk Pacific Northwest yang merupakan tempat asal Howard Schultz di Seattle, Amerika Serikat. Dengan konsistensi branding yang kuat, Starbucks pada akhir Maret 2008 memiliki 16.226 kedai di seluruh dunia.
Logo sederhana namun kuat tertanam lainnya adalah huruf M kuning dan tanda centang putih yang sangat dinamis. McDonald’s dan Nike merupakan perusahaan yang cukup konsisten dalam menerapkan logo perusahaan dengan sedikit sekali perubahan. Hal ini menjadi penting, karena visualisasi identitas merupakan sarana membangun awareness target sasaran. Informasi yang bertubi-tubi menghantam kepala target sasaran (konsumen, pengguna jasa, ataupun stakeholder) akan semakin mempertajam kompetisi. Selain menjadi semakin pintar, loyalitas akan menjadi sangat berkurang.
Logo membangun kekuatan daya saing, sekaligus menanamkan citra dan persepsi positif target sasaran di masa depan. Jawaban yang lebih sederhana adalah, kemampuan tercepat manusia dalam memahami sesuatu adalah melalui komunikasi visual.
Hal inilah yang belum disadari oleh para pelaku usaha, jasa, maupun institusi di Kota Semarang. Kota berlabel kota industri yang berpenduduk sebesar 1,5 juta jiwa dengan sebagian besar penduduknya berdagang, belum mampu menerjemahkan dan menerapkan pentingnya komunikasi visual melalui logo dan branding. Peran brand (retail, UKM, pemerintah, pendidikan, pariwisata maupun jasa) lokal Semarang hanya bisa menjadi jago kandang. Padahal secara perputaran uang, Semarang memberikan pendapatan 15% lebih bagi perekonomian Jawa Tengah.
Industri pengolahan nasional maupun internasional cukup kuat mengakar di kota yang mendapat julukan Venice Van Java ini. Beberapa industri jamu seperti Sidomuncul, Jamu Jago, Nyonya Meneer, dan industri minuman seperti Marimas, Sosro, hingga industri tekstil dan apparel seperti Golden Flower Group. Sebagai catatan, Golden Flower merupakan pemasok produk tekstil bagi Berca, pemegang lisensi Nike Indonesia. Sayangnya, Golden Flower belum berani menelurkan satu brand khas lokal, dan hanya bergantung pada pelabelan “swoosh”.
Kota Lumpia yang juga terkenal dengan kekayaan kulinernya ini, belum memiliki satu brand ikonik yang bersuara secara nasional apalagi internasional. Brand jasa kuliner nasional dan internasional, mulai melebarkan sayapnya ke Semarang dan lebih cepat mendapat tempat. Sebutlah martabak manis yang lebih terkenal dengan Kue Bandung. Mie Ayam yang mungkin secara isi, bumbu, dan rasa sama tapi lebih membawa kota Jakarta. Siomay Bandung lebih merajalela dan sudah dipastikan enak. Persepsi inferior terhadap kelokalan, dan superioritas “yang berasal tidak dari kota sendiri” seakan menjadi penyakit kronis. Logo dan Brand masih dianggap sebagai kebutuhan tersier yang tidak terlalu dibutuhkan dan mahal.
Pada tahun 2010, Indonesia akan mulai menjalankan kebijakan perdagangan bebas terutama dengan negara ASEAN dan RRC. Dengan konsekuensi nyata, produk asing akan membanjiri Indonesia dan Semarang dengan bebas dan mengancam keberadaan produk / brand lokal. Karena belum ada pondasi yang kuat ditambah pemahaman yang kurang akan pentingnya logo dan branding bagi penguatan brand lokal, bukan tidak mungkin masyarakat kita (Semarang khususnya) hanya akan semakin menjadi pengikut tren dan konsumen budaya serta produk luar.
Menghadapi tantangan tersebut, Program Studi Desain Komunikasi Visual UNIKA Soegijapranata Semarang dengan Forum Desain Grafis Indonesia (FDGI), menyelenggarakan Seminar dan Lokakarya (Semiloka) “Logo dan Branding”. Acara bertempat di Semarang, direncanakan berlangsung pada hari Rabu, 20 Januari 2010 pukul 09.00-16.00 WIB.
info & oendaftaran: Rio +6287834117929
http://www.facebook.com/event.php?eid=288362321857
0 komentar:
Post a Comment